Demokrasi adalah pembatasan hak agar tidak melanggar hak orang lain (Yuwono
Sudarsono)
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksankan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia (UU Pers. No. 40/1999)
Makna Kebebasan Pers
Dalam sebuah negara yang
menganut sistem demokrasi, kebebasan pers adalah sebuah keniscayaan. Isntitusi
pers tidak akan bekerja sempurna sesuai kodratnya tanpa jaminan kebebasan. Oleh
karena itu kebebasan pers disebut hak asasi manusia yang paling hakiki. Lazim
pula dijadikan sebagai barometer demokrasi.
Kebebasan pers pertama
kali dipelopori oleh John Milton pada abad ke 17. Dalam
sebuah pidatonya yang berjudul Aeropagitica ia berucap “a speech for
unlicenced printing.” Ucapan filusof berkebangsaan Inggris itu menandai
permulaan lahirnya gerakan anti sensor sebagai tindakan preventif terhadap publikasi.
Perjuangan Milton baru diakui dunia internasional dua
abad kemudian, semenjak dideklarasikannya piagam Universal Hak Azasi Manusia
oleh PBB pada tanggal 28 Desember 1948. Jaminan kebebasan itu tercatat dalam
pasal 19 yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of opinion and
expression: this right includes freedom to hold opinion without interference
and to seek, receive and impart information and ideas through any media and
regardless of frontiers.”
(Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan
keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang
batas-batas.)
Hal tersebut dinilai
masih kurang lengkap. PBB kemudian menyetujui lagi kovenan internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (internasional kovenant of sipil and political
right). Kebebasan pers lagi-lagi dimaksukkan sebagai hal yang harus dijamin. Pasal 19 kovenan itu
berbunyi:
1.
Everyone shall have the right to hold
opinions without interference
2.
Everyone shall have the right to freedom
of expression: this right shall include freedom to seek, receive, and impart
information an ideas of all kinds, regardless of frontiers of frontiers, either
orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media
of his choice
3.
the exercise of the rights provide for
in paragraph 2 on this article carries with
it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to
certain restriction, but these shall only be such as are provide by law and are
necessary;
(a) for
respect of the right or reputation of others
(b) for
the protection of national security or public order or public health or morals.
(1. setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa dipengaruhi
orang lain
(2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatkan
pendapat, hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi
dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam
bentuk cetakan karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
(3. Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat 2 pasal ini
menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat dikenai
pembatasan tertentu, tetapi hal ini dapat dilakukan sesuai dengan hukum,
sepanjang diperlukan untuk:
a. Menghormati hak
atau nama baik orang lain
b. Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan
atau moral umum.)
Indonesia yang
menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara telah jaminan keberlangsungan
kebebasan pers tersebut. Jaminan itu tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal
28 F yang menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.”
Hal tersebut diperkuat
lagi dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dalam pasal 23 ayat 2 “setiap
orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarkan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum , dan keutuhan bangsa.”
Lalu dipertegas dalam UU
Pers No. 40/1999, “kebebasan pers adalah hak asasi warga negara,” dan
setiap usaha yang menghalangi tegaknya kebebasan pers dipidana dua tahun
penjara atau denda Rp 500 Juta.
Dengan banyaknya jaminan
tersebut diatas, sesungguhnya tidak ada lagi alasan untuk tidak menjalankan
kebebasan pers di tanah air. Kini bangsa Indonesia berdiri sejajar dengan
bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu menerapkan prinsip-prinsip
kebebasan pers.
Makna kebebasan pers
sesungguhnya ialah larangan sensor pendahuluan/preventif (prior restraining)
terhadap pemberitaan-pemberitaan dalam pers. Yang dimaksud sensor di sini
adalah:
1.
Penghapusan secara paksa sebagian atau
seluruh materi informasi yang diterbitkan
atau disiarkan,
2.
tindakan
teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun,
3.
dan
atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam
pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Namun kebebasan pers
tidaklah bersifat mutlak, dalam konsep hak asasi manusia kebebasan pers dikategorikan sebagai derogated
right atau hak yang dapat diabaikan/ dibatasi. Pengabaian terhadap
kebebasan pers dapat dilaksaksankan apabila terjadi keadaan darurat yang
bersifat memaksa dan luar biasa, misalanya: bencana alam, kekacauan negara dan darurat militer, dll
Namun perlu diingat,
sesuai dengan pasal 19 ICCPR, pembatasan itu harus dinyatakan dalam
UU/peraturan, diberi batasan mana yang
harus dibatasi dan memiliki jangka waktu tertentu. Apabila kondisi kembali
normal maka kebebasan pers secara penuh harus diberlakukan kembali.
Tetapi, sebaliknya
pembatasan-pembatasan yang bersifat represif berupa delik-delik pidana yang
mengandung delik pers (pencemaran nama baik, delik agama, kabar bohong dll)
dipandang sah dan konstitusional. Pembatasan
demikian diakui oleh hukum internasional.
Makna Kebebasan Bagi
Media Penyiaran
Kebebasan pers
sesungguhnya tidak memilah-milah antara
media cetak dan elektronik (penyiaran) sepanjang medium tersebut melaksanakan
kegiatan pers (jurnalistik) maka jaminan kebebasan tetap melindunginya.
Namun dalam kenyatannya
tidak semua media penyiaran melaksanakan tugas jurnalistik. Bahkan kegiatan
jurnalistik hanya sebagian kecil saja dari aneka ragam program media penyiaran.
Maka sesuai dengan
semangat ICCPR pasal 19 ayat 3 (melindungi hak orang lain, moral, keamanan dan
ketertiban), media penyiaran yang menyiarkan program di luar kegiatan jurnalistik terbuka untuk disensor.
Namun sekali lagi, sensor (pembatasan) harus melalui persetujuan
undang-undang/hukum.
Di Indonesia berdasarkan
UU No. 8/1992 tentang perfilman, semua
yang akan ditayangkan atau dipertujukkan —kecuali produk jurnalistik -- wajib
lulus sensor. Yang ditunjuk sebagai lembaga sensor adalah lembaga sensor film.
“Pembatasan” terhadap
media penyiaran akan lebih terasa urgen lagi bila kita kaitkan dengan
penggunaan frekuensi yang mana frekuensi pada hakekatnya adalah milik publik
yang jumlahnya terbatas. Karena hakekatnya frekuensi adalah milik publik, maka
publik juga harus terlibat dalam pengaturan frekuensi tersebut melalui
lembaga-lembaga resmi yang diakui mewakili kepentingan publik.
Akhirnya kita sampai
pada satu kesimpulan bahwa kebebasan pers tidaklah bersifat mutlak sebagaimana
yang tertulis dalam ICCPR. Dalam rangka melindungi nilai-nilai moral, kesehatan,
kemanan dan ketertiban umum, kebebasan pers “dapat” dibatasi dan pembatasan itu
harus dilakukan berdasarkan UU/peraturan dan harus dalam keadaaan darurat dan
luarbiasa.
Pembatasan terhadap
kebebasan ini sudah terjadi di Indonesia sejak ditetapkannya Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) dalam status Darurat Militer.
Melalui Kepres Nomor. 43 TAHUN 2003 pemerintah melalui
menteri luar negeri menyeleksi wartawang asing maupun koresponden media asing
yang ingin masuk ke Aceh melakukan kegiatan jurnalistik. Sementara wartawan nasional harus mendapat
izin dari penguasa darurat militer daerah yang dalam hal ini adalah Pangdam
Iskandar Muda.
Tiga Aspek Kebebasan Media Penyiaran
Kebebasan berpendapat
dan kebebasan pers sesungguhnya tidak berbeda pada semua media. Ada tiga hal
yang perlu diperhatikan dalam mendsikusikan kebebasn media penyiaran:
1.
bahwa
rumusan sederhana mengenai kemerdekaan berpendapat pada banyak undang-undang
dasar memastikan bahwa konflik interpretasi mengenai kemerdekaan ini akan
terjadi di negara manapun harus dipecahkan melalui peraturan yang lebih rendah
atau keputusan pengadilan. Undang-undang Dasar kita bahkan tidak secara tegas
menjamin hak ini dan hanya menyatakan akan mengaturnya melalui undang-undang.
2.
Bahwa
konsep kemerdekaan bersuara tidak dapat
diterapkan pada segala aspek media. Ada masalah-masalah dalam pers yang tidak
berhubungan langusng dengan kemedekaan
informasi. Mahkamah Agung Amerika Serikat, misalnya, banyak menolak permintaan
banding dari perusahaan media dengan alasan
bahwa kasusnya tidak secara langsung menghalangi kemerdekaan pers,
tetapi juga berhubungan dengan masalah perusahaan dan perburuhan yang bisa
diatur oleh hukum umum.
3.
Walaupun
jaminan kemerdekaan berpendapat dan penyelenggaraan pers barlaku untuk untuk
media penyiaran, ada aspek lainnya dari isi media siaran, yaitu pengunaan ruang
pubik (frekuensi) yang tidak berhubungan langsung dengan penerapan hak asasi
ini. Di Amerika Serikat hal ini berakibat, berbeda dari pers cetak, media
siaran dibatasi melalui beberapa peraturan komunikasi (communication act) yang dibuat oleh Kongres dan dijalankan oleh
Federal Communication Commission (FCC)
Kebebasan pers sebenarnya bukan hanya bebas dari kekangan negara, tetapi juga
bebas dari kekuatan ekonomi dan pasar. Gejala-gelaga dominasi pasar atas
kebebasan pes sudah mulai tumbuh. Prof. James Carey dari Columbia University
sudah mensinyalir bahwa kebebasan dari kekangan negara justru menyebabkan leluasanya kebebasan pasar untuk
mengendalikan kebebasan pers itu sendiri.
Oleh karena itu esensi kebebasan adalah terlindungi
kepentingan publik dari dua kekuatan, yakni kekuatan negara dan ekonomi/pasar.
Sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap kebebasan pasti memerlukan tanggung
jawab. Demikian juga dengan kebebasan pers (media). Menurut Dennis McQuail, tanggung jawab
media adalah segala proses baik sukarela
maupun terpaksa dimana media menjawab secara secara langsung atau tidak
langsung pada lingkungan masyarakatnya kualitas dan atau konsekuensi dari
publikasi yang dimuatnya (McQuail, 2005).
Oleh karena itu, proses pertanggungjawaban meliputi tiga
kriteria (McQuail, 2005):
1.
Media
harus menghormati hak kebebasan untuk mempublikasikan sesuatu
2.
Media
harus melindungi atau membatasi bahaya yang mengkin timbul dari publikasi
terhadap individu dan masyarakat
3.
Media
harus lebih memajukan aspek-aspek positif dari publikasi daripada hanya
membatasinya
Dari ketiga kriteria tersebut, kriteria pertama
merefleksikan sifat dasar dari kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi,
sedangkan yang kedua, adanya kewajiban terhadap masyarakat di satu sisi dan
kewajiban terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan individu di sisi lain. Adapun
kreteria ketiga menekankan pada dialog dan interaksi antara media dan institusi
lain dalam masyarakat.
Karena banyak jenis pertanggungjawaban, maka McQuail
menyusun kerangka pertanggungjawaban (frame
of accountability). Kerangka pertanggung jawaban menurut McQuail
adalah sebuah kerangka rujukan dimana perilaku media yang diharapkan,
tanggungjawab dari perilaku media dan tuntutan dinyatakan. Atau juga bermakna: menyatakan atau menenutkan cara mana
suatu tuntutan sebaiknya diselesaikan.
McQuail
yang mengutip Dennis menguraikan terdapat empat kerangka pertanggungjawaban: Law and Regulation, financial/market, public
responsibility dan Professional
responsibility.
(1) Kerangka
hukum dan regulasi (law and regulation).
Kerangka ini merujuk pada segala
regulasi-regulasi, hukum-hukum dan kebijakan publik yang berpengaruh pada
operasional dan struktur media. Tujuan utama dari kerangka ini adalah untuk
menciptakan dan menjaga kondisi kebebasan media dan perluasan komunikasi antar
masyarakat dan meningkatkan kualitas publik dan juga membatasi kemungkinan
potensi bahaya pada legitimasi pribadi dan kepentingan publik
Mekanisme dan prosedur utama dari kerangka
ini, yakni berisi kumpulan regulasi-regulasi tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh media termasuk peraturan-peraturan formal dan prosedur-prosedur pelengkap untuk pengimlementasian setiap regulasi tersebut. Isu-isu utama
yang berkaitan dengan kerangka ini biasanya pelanggaran terhadap hak-hak
individu atau hal lainnya dimana media,
khususnya (media elektronik) dapat diregulasi.
Keuntungan dari pendekatan ini, yakni, bahwa terdapat kekuasaan yang besar untuk memaksa tuntutan-tuntutan. Ada pula kontrol demokratis melalui mekanisme sistem
politik, kurang lebihnya bermakna sebagai chek terhadap tekanan dan
pelanggaran. Di sini setiap pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan dan juga
bidang setiap regulasi dengan jelas dibangun.
Kerugiannya adalah pembatasan paling tidak merugikan media.
Intinya, karena memungkinkan terjadi konflik antara tujuan perlindungan
kebebasan itu dengan membuat media
bertanggung jawab. Salah satu yang dikhawatirkan, misalnya hukuman seperti
kewajiban sensor, meskipun ini tidak
dilegitimasi.
Hukum dan regulasi lebih
mudah diterapkan pada struktur (kepemilikan) dari pada isi media, dimana
kebebasan berekspresi timbul, namun disitu pula sulit dibuat defenisinya. Hukum
dan regulasi lebih memberikan keuntungan terhadap kekuasaan dan uang, meskipun
hukum dan regulasi bermaksud melindungi kepentingan secara keseluruhan. Hukum dan regulasi juga kadang-kadang kurang efektif, susah
ditegakkan, tidak bisa diprediski luas jangkauannya dan efek jangka panjangnya
serta susah diubah dan diganti walaupun sudah ketinggalan jaman. Bila demikian hukum dan regulasi akan tetap
menjadi bagian dari sistem dan dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan
tertentu oleh segelintir orang (misalnya subsidi dan hukum).
Contoh regulasi dan
undang-undang yang mengatur struktur dan organisasi media adalah UU Penyiaran,
UU Pers dan UU Perfilman. Ketiga UU tersebut menjamin kebebasan media dalam
menyampaikan pesan-pesan kepada publik. Meskpun demikian, segenap UU tersebut
juga tetap membatasi kebebasan media guna melindungi kepentingan publik,
misalnya larangan tayangan pornografi di media TV dan koran, klasifikasi siaran, perlindungan terhadap
anak-anak dan remaja, dsb.
Sedangkan kondisi hukum dan regulasi juga kadang-kadang kurang efektif, susah
ditegakkan, tidak bisa diprediski luas jangkauannya dan efek jangka panjangnya
serta susah diubah dan diganti walaupun sudah ketinggalan jaman, bisa dilihat pada kasusnya Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Undang-undang
tersebut adalah warisan peninggalan kolonial Belada, sejumlah pasal-pasal dalam
UU tersebut nyata-nyata mengancam kebebasan berekspresi, misalnya pasal-pasal
tetang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Penyebar Kebencian (haatzai artikelen), Delik Keamanan
Negara dan lain sebagainya. Namun KUHP tersebut sampai sekarang masih
digunakan, karena DPR dan Prisiden belum menyetujui RUU KUHP yang baru.
(2) Kerangka Pasar
Akuntabilitas media
dilihat dari kerangka pasar adalah dilihat dari mekanisme permintaan dan
penawaran dalam sebuah pasar. Berbagai penelitian pasar dan khlayak membuktikan
bahwa ukuran diterimanya media oleh masyarakat dilihat dari penambahan penjulan
media tersebut.
Kerangka pasar melihat
bahwa kualitas (quality) media merupakan suatu kemutlakan. Kualitas disini
bukan hanya pada isi (content) tetapi juga terhadap teknik. Salah satu cara
untuk melakukan perbaikan adalah melalui iklim kompetisi. Tidak ada tekanan
yang mengontrol kekuatan pasar, ini adalah satu keuntungan dari pendekatan ini.
Hukum permintaan dan penawaran hendaknya memastikan bahwa kepentingan antara
media dan khalayak tetap terjamin seimbang. Sistem pasar memiliki aturan
sendiri (self regulatory) dan koreksi sendiri (self control) dan tidak membutuhkan regulasi dan kontrol dari luar.
(3) Kerangka
Tanggung Jawab Publik
Kerangka ini merujuk
bahwa media massa juga bagian dari institusi
sosial oleh karena itu media massa
mengemban tugas dan tanggung jawab penting dari publik, jauh di atas tugasnya
untuk misalnya menghasilkan menghasilkan keuntungan. Model ini menurut Denis
disebut Fiduciary, yakni media
mendapatkan kepercayaan atas nama publik.
Mekanisme dan prosedur utama kerangka ini terdiri dari
aktivitas kelompok-kelompok penekan, termasuk organisasi khlayak media dan
survey opini public, meminta media massa
agar mengekspresikan kepentingan publik.
Di sejumlah negara terdapat berbagai bentuk dewan pers atau
komisi penyiaran yang melayani kompalin/keluhan yang datang dari public. Nah
media massa diharapkan
mengikuti metode ini, dengan membuat semacam divisi yang menerima pengaduan
dari masyarakat. Pemerintah juga
senantiasa memiliki komisi dan institute
untuk menilai kinerja media. Sejumlah media dioperasikan atas nama kepercayaan public (public trusts)
yang tidak berorientasi profit (non profit) untuk melayani informasi public
atau tujuan sosial lainnya
Ide utama dari kerangka ini adalah masyarakat dapat
mengontrol informasi yang disampaikan oleh media sehingga tercipta hubungan
yang interaktif antara media dan publik. Di Indonesia, saat ini terdapat
sejumlah pemantau-pemantau media yang senantiasa mengontrol pemberitaan media agar senantiasa melindungi kepentingan
publik. Salah satunya adalah Lembaga Konsumen Media, Surabaya
dan Media Watch The Habibie Center yang berbasis di Jakarta.
Disamping itu, sejumlah surat kabar saat ini juga sudah mulai
mengadopsi ombudsman media. Ombudsman
adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh media untuk menerima dan melayani
keluhan dan komplain dari masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan pers. Surat kabar di Indonesia yang sudah menggunakan
ombusdsman media diantaranya Jawa Pos dan
Kompas
(4) Kerangka
Tanggung Jawab Profesional
Kerangka ini merujuk pada tanggung jawab yang muncul dari
pengembangan etika profesi atau lasim disebut kode etik (code of conduct) yang ada di lingkungan institusi media (misalnya, kode etik
jurnalistik, priklanan dan public relations). Kode etik itu disusun untuk
menjadi pegangan bagi professional yang bekerja di media agar bekerja sesuai
dengan standar yang ditentukan. Mekanisme dan prosedur kerangka ini biasanya
dilakukan oleh penerbit yang menyusun
prinsip-prinsip atau kode etik yang diikuti oleh anggota kelompok
professional media. Selain kode etik tersebut terdapat pula prosedur-prosedur
yang biasa digunakan bila media media menerima komplain atau klaim-klaim berkaitan dengan pemberitaan media.
Isu-isu yang biasanya berhubungan dengan kode
etik atau code of conduct ini, yakni
berkaitan dengan misalnya “menyerang kehormatan seseorang” dan lain
sebagainya. Pengembangan profesionalisme
di media biasanya didukung oleh pemerintah, intitusi publik lainnya melalui
pelatihan dan pendidikan. Di
Indonesia, terdapat sejumlah kode etik yang ada di lingkungan institusi media.
Misalnya, untuk jurnalis terdapat Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ disusun oleh
asosiasi para jurnalis yang kemudian disahkan oleh Dewan Pers. Di televisi, ada yang disebut Pedoman Program Siaran (P3)
dan Standar Program Siaran (SPS). P3 dan SPS disusun oleh Komisi Penyiara
Indonesia (KPI)
Referensi
McQuail,
Dennis, Mass Communication Theori,
Sage Publication, 2005
Luwarso,
Lukas, Delik Pers: Dalam Hukum Pidana. Dewan
Pers dan LIN, 2002
No comments :
Post a Comment